Sitnalta
jauh di dasar prasangka
arus kian cepat memburu jawaban
sebagai gelombang paling menenangkan
di bawah selimut biru,
raga menyembunyikan gigil rahasia
siapa tahu seluruh lekuk, pasir serta terumbu karang
sampai dalamnya dasar palungmu?
ia hanya mengitari bumi dengan ujung jari
misteri-misteri memunculkan berbagai teori
Sitnalta
bukti kebesaran sebuah cerita
menembus batas-batas logika manusia
kehidupan bersulang di dalam pesta kematian
amuk sang dewi tak dapat diredam lagi
Sitnalta
betapa indah dan mansyurnya negerimu
kekasihku memuji-muji namamu
Sitnalta, Sitnalta, Sitnalta
apakah puncak kemakmuran
adalah kiamat yang sudah dekat?
di rahim ibu, kau bersemayam
mengasuh kisah menjadi sejarah
Banyumas, 12 April 2021
Empat Sonian Untukku
;Umur
Tubuhmu yang malam
menyimpan maut
rapatrapat
mengucap
bibir waktu
selamatselamat
;Ular
Lidahmu bercabang
lihai menggoda
kupercaya
o racun
;Kucing
Matamu melirik
bak mercusuar
menerangi
mataku
;Ayam
Sebelum kaubangun
masih adakah
riuh doa
untukku
Banyumas, 28 April 2021
Mawar Tanpa Duri
Pagi ini
Kekasihku memberikan kabar haru
Katanya, biji mawar yang ditanam
Setahun yang lalu telah berbunga
Tetapi durinya hampir tak ada?
Mengapa? Aku selalu bertanya
Sebab langit
masih menjadi teka teki rumit
para peramal bintang dan cuaca
Bunga yang setiap bulan ia petik untukku
Dan duri yang setiap saat ia petik
Untuk latihan rasa sakit katanya
Aku hanya tau mawar
Yang kupanjangkan umur
di dalam segelas air
Dan merengek meminta lagi
Setelah mawar telah tiada di meja
untuk menyuguh puisi percintaan
Banyumas, 7 Mei 2021
Musim Puisi
Ada yang ikut bertamu
pada sepasang mata penyair
di dalam riuh isi kepala
Dua tanda baca
memainkan logika
pertama tanda seru, aduh!
sisanya tanda tanya, kenapa?
ketika kata menemukan kata lain
manusia menemukan manusia lain
dan frasa mencipta makna; cerita baru
dan perkenalan membikin hubungan baru
ia senyum-senyum sendiri
ada yang ikut bertemu
pada sepasang hati
di musim puisi
Banyumas, 24 Mei 2021
Sebelum Masuk ke Pintu Itu
setiap nama diberi nomor
setiap nomor diberi batas tunggu
hitungan waktu begitu lugu
mengantarkannya ke depan pintu
tidak ada penjagaan di sana
dapat masuk, tak dapat dijenguk
sendiri, mati sekujur urat nyali
lalu disuguhi beberapa mili anestesi
sayap-sayap dari punggungnya membentang
terbang sampai ke dalam tidur yang sistematik
setelah terbangun
jam dinding tertawa,
menandai waktu dengan sengaja
menandai tubuh yang terluka
pulih kembali seperti sediakala
di depan pintu itu
lampu-lampu mata gelisah redup
angin kesabaran tertiup dari hati
atas syukur yang kian luntur
oleh aduh yang terbagi-bagi
Banyumas, 20 Februari 2021
Mbak Lastri
(1)
obor-obor telah dinyalakan
memecah kegelapan menjadi beberapa titik terang
aku berjalan berdampingan bersamanya
menyusuri jalan, menghitung jarak dengan jejak
selingkar jam mencekek lengan tanganku
merambat kisah yang tak lagi didongengkan
sebab terkalahkannya kisah ibunda
dengan story sekelebat di sosial media
telah diriwayatkan suatu muasal
tiga wajah berseri-seri
bersama bangun tidurnya matahari
dari tangannya lahir anak-anak sejarah
seorang perempuan yang sering dikenal
;Mbak Lastri
(2)
Mbak Lastri, terisolasi
telah delapan bulan mengunci diri
takut dibuli dan ditanyai
siapa yang menanam benih
pada tubuh yang telah sendiri
ditinggal pergi suami
Mbak Lastri, menguatkan hati
berjalan menyusuri gang-gang pasar pagi
tidak ada keramaian seriuh minggu legi
pedagang dan pembeli hilang selera negosiasi
sebab terlalu mudah untuk berkata murah
murah-murahan
(3)
Mak Lastri, membebaskan diri
melepaskan segala tali ikatan
melarung ariari di kolong jembatan
mengalir tangis di sungai darah
sukma terbang menyusuri cakrawala
melambai tangan mungil nan suci
menembus lembutnya awan gemawan
bermain bersama kapal terbang
turun berlomba lari dengan kereta
menjumpai ibunya berbaring di lintasan besi
hilang wujud, remuk, hancur
yang abadi hanya kisahnya.
(4)
kepada tanah yang dikalungi besi
rubuh tubuh ibu meluruh seluruh
tenggelam dibanjiri kiriman duka
salah siapa?
aku hanya manusia yang tak lagi manusia
dibesarkan dengan darah
disucikan dengan darah
dimatikan penuh darah
(5)
Mbak Lastri, adalah anak tiri
dibuang oleh ibu pertiwi
diabadikan di belakang layar tivi
sebagai suguhan berita pagi
menemani sepi kian menepi
Banyumas, 19 Januari 2021
Kota
kota adalah rumah sakit yang kesepian
tempat berpulang orang-orang ngengaduh
mencari pengobatan akan jiwa gila harta
di sekat-sekat ruang yang begitu asing
gelandangan erat dipeluk harapan cita-cita
kota adalah badan bumi yang sekarat
dikutuk manusia menjadi batu
tanah-tanah mengeras dihujani air mata
terkikis bencana setiap pergantian kalendernya
darah-darah muncrat dari jantungnya
paru-paru terengah-enggah menahan sesak
bau busuk tumpukan mayat
tersamar aroma wangi lembaran ratusan
di perut kota rahimnya juga keguguran
benih diaborsi begitu dini
rantai kehidupan pun kian mini
hukum rimba juga berlaku di mana-mana
meski tiada rimba yang tersisa, hewan-hewan
merasuk ke dalam sukma manusia
meminta amis darah mangsa
disumpah serapahi berbagai perkara
siapa yang berkuasa, hidupnya gembira
orang sengsara, siap di meja konspirasi negara
dijatuhi kutukan-kutukan tanah kota
menjanjikan kasih sayang ibu nusantara
yang katanya "mengubah nasib orang desa"
Banyumas, 26 Februari 2021
Masakan Mama
beberapa helai daun pandan
dan tetes garam air mata
ia tanak bersama santan
mengaduk-aduk rasa kehidupan
beras di pithi dari sisa gaji suami
hanya cukup untuk sehari
agar esok lambung dapat terisi
aroma pandan menjalar ke seluruh rumah
bermekaran kuncup-kuncup syukur
di antara tagihan hutang kian mendengkur
jauh dari hiruk-piruk keramaian kota
di sudut desa kaki gunung Selamet
embun menyapa perapian sekelebat lalu
ada yang membakar tubuh untuk tubuh lain
membiarkan gemetar tubuhnya
bergerak mengarak usia yang lekas purna
tungku masih hangat-hangatnya
dilarutkannya seluruh cerita
meski harus membuka luka irisan duka
namun senyum bahagia terlukis indah
di wajah seorang wanita yang mengangon cinta
sayang, pengorbanan menempati siklus tertinggi
di mana Tuhan dapat dengan santai
membuka dan menutup pintu pikiran
bersama angan-angan
tersaji di jamuan kesendirian
Banyumas, 26 Maret 2021
Bunga Kapas
bunga kapas terbang bebas
selayaknya kupu-kupu dengan sayap baru
melekat di setiap urat waktu
dan daun kering memecah
di masa ke tiga
terngiang kecambah selesai menggapai langit
melampaui sang bunga terbang lepas
Menemani angin buritan
menyampaikan kabar duka
kapas-kapas mati di dalam bantal tidurku
menyusuri jalan-jalan malam
meminta hujan dari mataku
Banyumas, 1 Maret 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar